idaraya

Bandung Lautan Api, di Antara Titah Sjahrir dan Kawat Misterius

Bandung Lautan Api, di Antara Titah Sjahrir dan Kawat Misterius

Jakarta -, Pembumihangusan Bandung yg dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api tak diputuskan secara mudah. Kolonel A.H. Nasution yg ketika itu menjabat Komandan Divisi III menggambarkan dilema yg dihadapinya.

Pada 23 Maret 1946, jelang batas waktu ultimatum Inggris kepada Tentara Republik Indonesia (TRI) buat mengosongkan Kota Bandung dalam radius 11 km, Nasution menghadap ke Sutan Sjahrir di Pegangsaan, Jakarta. Jabatan Sjahrir ketika itu adalah perdana menteri Republik Indonesia Serikat.

Dalam kesempatan itu, Nasution menerangkan situasi dan keadaan yg dialami warga Bandung, termasuk keberatan buat mengosongkan kota. Dalam buku Bandung Lautan Api karya Djajusman (1975), Sutan Sjahrir menjawab keberatan yg disampaikan Nasution.

"Kerjakan saja! TRI kami adalah modal yg harus dipelihara. Jangan dulu hancur. Harus kalian bangun buat kelak melawan NICA. Pemerintah sipil supaya tetap bertugas di posnya yg sekarang. Karena kalau pergi, pasti NICA yg mulai menggantikannya. Jangan diadakan pembakaran dan sebagainya karena nanti yg rugi rakyat kalian sendiri juga dan yg harus membangunnya kelak kami juga. Saya sendiri orang yg tidak punya.... " ucap Sjahrir.

Pada ketika yg sama, 23 Maret 1946 sore, pihak Inggris akan menyebarkan pamflet tentang ultimatum bahwa sebelum pukul 24.00 WIB, 24 Maret 1946, semua pasukan bersenjata harus keluar dari Bandung.

Nasution yg masih berada di Jakarta sempat ditahan bagi kembali ke Bandung. Berulangkali meminta diantarkan pulang, beragam alasan selalu dikemukakan. Pada akhirnya, ia baru mampu kembali ke Kota Kembang pada 24 Maret 1946 pagi menumpang pesawat Dakota.

Begitu datang di Bandung, Nasution menemui pihak Inggris di Markas Divisi ke-23 Inggris diwakili oleh Kolonel Hunt dari Staf Divisi Inggris di Bandung. Hunt kembali mengingatkan Nasution soal ultimatum pengosongan, sedangkan Nasution meminta kelonggaran kembali karena tak gampang mengungsikan 10.000 tentara dan lasykar sambil membawa perlengkapan dalam waktu singkat.

Hunt menawarkan 100 truk Jepang buat menolong evakuasi yg ditolak mentah-mentah oleh Nasution. Ia juga menerangkan pengosongan itu mampu berdampak pada pengungsian ratusan ribu warga Bandung yg ditepis Hunt dengan menyebut warga tidak mulai mengungsi seandainya tidak diintimidasi TRI.

Perundingan akhirnya mentok. Nasution kembali ke markas dengan kebingungan. Setibanya di Pos Komando, ia menerima kawat dari Markas Tertinggi TRI di Yogyakarta tanpa nama pengirim.

Kawat misterius itu berpesan, "Setiap jengkal tumpah darah harus dipertahankan."

Kawat tersebut membulatkan tekad Nasution buat melawan dengan memperhitungkan keadaan Bandung ketika itu. Mayor Rukana, Komandan Polisi Tentara RI mengusulkan buat membumihanguskan dan kemudian menutup terowongan Sungai Citarum dengan dinamit. Apalagi, sejumlah anggota TRI bahkan telah menyiapkan bom batok di dua titik jalan.

Usulan bumi hangus Kota Bandung sebelum ditinggalkan akhirnya diterima Nasution. Keputusan itu diambil dengan menyatakan bahwa tentara patuh dengan keputusan pemerintah pusat, tapi bukan tanpa perlawanan. Setelah itu, ia memutuskan pembagian tugas buat melaksanakan operasi bumi hangus.

Sejarawan Jaka Perbawa dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi berpendapat keputusan bumi hangus yaitu strategi militer yg cemerlang. Nasution berhitung tentang kekalahan yg diderita seandainya TRI tetap melawan Inggris, termasuk Belanda, secara terbuka. Pasalnya, jumlah pasukan dan logistik di dalam kota tak memadai dan mereka tidak mendapat dukungan dari pusat.

"Beda dengan Surabaya, instruksi pengosongan Bandung itu jelas. Nasution kemudian berhitung secara militer. Satu-satunya cara membangkang ultimatum Inggris adalah tetap meninggalkan kota, tapi dengan bumi hangus agar tak ada yg mampu dipakai oleh musuh," kata Jaka kepada , Kamis malam, 23 Maret 2017.

Nasution dulu memerintahkan operasi bumi hangus dijalankan pada tengah malam. Sebelum itu, segala warga Bandung diperintahkan bagi mengungsi ke luar kota. Operasi bumi hangus disebutnya sebagai serangan perpisahan dari para pejuang.

Sempat ada penolakan dari sebagian rakyat yg awalnya diminta Wali Kota Bandung ketika itu, Sjamsuridzal, tetap tinggal di kediaman masing-masing. Namun, mereka akhirnya menuruti perintah Nasution setelah diberi penjelasan.

Dalam kesibukan pengungsian mendadak itu, sekitar pukul 21.00 WIB terdengar ledakan dahsyat. Operasi bumi hangus pun dipercepat sekitar 3 jam dari waktu semestinya. Akibatnya, operasi bumi hangus Bandung tidak maksimal karena banyak tempat strategis yg belum sempat ditaruh bahan peledak.

Salah sesuatu anggota tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi, Ummy Lathifah menerangkan kacaunya operasi bumi hangus juga tidak terlepas dari keadaan logistik yg dimiliki.

TRI ketika itu cuma memiliki 100 pucuk senjata, sedikit belerang sebagai mesiu dan kekurangan korek api buat membakar bom. Belum lagi teknologi peledakan tidak secanggih yg dimiliki musuh.

"Di Bandung utara, penjagaan juga sangat ketat. Bangunannya kokoh, tahu sendiri kan kekuatan bangunan Belanda. Pejuang yg kalian wawancarai ketika itu bilang paling kalau dilempar bom molotov, cuma hitam-hitam saja," ujar Ummy, dua hari lalu.

Maka itu, kobaran api paling hebat kelihatan dari Bandung selatan. Mulai dari Cimahi hingga Ujung Berung, langit telah memerah. Serangan hebat juga dilancarkan ke bekas Kompleks Koninklijke Militaire Academie (KMA), Ciumbuleuit dan Sukajadi.

TRI juga membakar sendiri asrama dan bangunan-bangunan utama lainnya. Air mata warga juga bercucuran ketika membakar rumah mereka sendiri yg tidak sudi diduduki oleh Sekutu. Rakyat kemudian berjalan ke arah selatan Bandung bagi meninggalkan tempat tinggal mereka selama ini.

Meski operasi bumi hangus tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana, sejarawan Jaka Perbawa menilai taktik itu memperlihatkan perlawanan hebat dari rakyat. Walau begitu, peristiwa Bandung Lautan Api pada akhirnya tak berpengaruh besar pada upaya diplomasi Indonesia yg dijalankan berikutnya.

"Tapi dilihat dari semangat juangnya, kami ada pembangkangan. Kita bersedia tinggalkan kota tapi tak secara utuh. Itu pesan moral untuk masyarakat ketika ini. Kita bersikap pantang menyerah, tak patuh begitu saja. Patuh tetapi setengah hati," kata Jaka.



Source : liputan6.com

Terimakasih sudah membaca: Bandung Lautan Api, di Antara Titah Sjahrir dan Kawat Misterius

idaraya

Share this

Berkomentarlah yang baik sopan dan relevan,jangan menyimpang dari topik !!!

list emo
Terimakasih atas komentar Anda di " Bandung Lautan Api, di Antara Titah Sjahrir dan Kawat Misterius "