Dublin -, Ada pepatah mengatakan, "Kalau disiksa cukup lama, ia mulai membeberkan seluruh sesuatu." Hal itu sebenarnya yaitu persoalan untuk para ilmuwan, apalagi buat pelaku penyiksaannya.
Maksudnya, seandainya orang yg disiksa mulai buka mulut tentang apapun, bagaimana kalian mengetahuinya bahwa apa yg dibeberkan itu yaitu kebenaran?
Dikutip dari New Scientist pada Jumat (27/1/2017), buku "Why Torture Doesn't Work" karya Shane O'Mara menguak temuan ilmiah yg tak diduga.
Pada 2009, profesor penelitian eksperimental otak di Trinity College, Dublin, Irlandia itu membaca suatu artikel tentang penerbitan "Torture Memo".
Memo tersebut adalah dokumen-dokumen legal yg dipersiapkan buat pihak berwenang Amerika Serikat tentang penggunaan waterboarding, pengurangan tidur, ikatan dalam posisi stres, dan sejumlah teknik "interogasi diperluas".
Bukan sekedar bicara moralitas, tetapi O'Mara ingin mengetahui apakah ada ilmu yg kredibel bagi membuktikan bahwa siksaan itu memang berhasil. Ternyata, jawabannya, tidak.
Kenyatannya, "intelijen yg didapatkan melalui penyiksaan terlalu cetek, perbandingan sinyal terhadap derau (signal-to-noise ratio) terlalu rendah, sehingga para pendukung siksaan tak milik masalah yg layak dibela."
Katanya lagi, pendukung penyiksaan membela kekejian dengan "campur aduk anekdot, cerita tebang pilih, dan skenario yg seluruhnya berlawanan dengan fakta."
Sejumlah penelitian terkendali tentang keberdayagunaan penyiksaan mungkin dapat menohok secara moral. Tapi ada banyak keterangan tentang dampak psikologis dan fisiologis rasa sakit luar biasa, ketakutan, kedinginan, pengurangan tidur, penyekapan, dan rasa nyaris tenggelam.
Beberapa penelitian, misalnya terkait dampak pengurangan sensori, memakai para sukarelawan yg sehat. Sejumlah penelitian yang lain dikerjakan ketika pelatihan pasukan tempur.
Ada juga segelintir literatur tentang dampak jangka panjang penyiksaan pada orang yg menyintasnya dan pengamatan pada teknik interogasi polisi, sehingga memberikan pengertian tentang psikologi pengakuan palsu--yang ternyata mudah diciptakan.
Seperti ditekankan oleh O'Mara, penyiksaan tak menghasilkan keterangan yg mampu diandalkan, terutama karena kekejiannya yg mengganggu kemampuan buat berpikir. Sakit luar biasa, kedinginan, dan pengurangan tidur (sleep deprivation), serta ketakutan terhadap siksaan itu sendiri merusak ingatan, mood, dan kognisi.
Penyiksaan tak mengajak orang bagi membuat keputusan nalar bagi bekerja sama, tetapi menciptakan panik, keterasingan, ketidaksadaran, dan kerusakan syaraf berjangka panjang.
Penyiksaan juga menghasilkan dorongan kuat bagi selalu bicara demi mencegah siksaan berikutnya. O'Mara mengutip kisah dari seorang petugas intelijen tentang penyintas siksaan berusia 60 tahun di Kamboja, "Ia menyampaikan kepada interogatornya seluruh yg ingin mereka ketahui, termasuk kebenaran."
"Selama penyiksaan, ia mengakui diri sebagai apapun, akan dari hermafrodit (mahluk berkelamin ganda), agen CIA, uskup Katolik, atau bahkan putra seorang Raja Kamboja. Padahal ia adalah seorang guru sekolah yg kejahatannya adalah karena ia mampu bahasa Prancis."
Para pelaku interogasi biasanya meningkatkan siksaan saat mereka menduga tersangka menahan keterangan atau berbohong. Tapi tak ada bukti yg cukup bahwa para pelaku interogasi itu lebih pandai dalam mendeteksi kebohongan.
Faktanya, ada bukti bahwa, saat orang dilatih menjadi interogator, mereka menjadi lebih cenderung menduga bahwa orang berbohong kepada mereka.
Keyakinan demikian mengarah kepada kesalahan-kesalahan yg mencemaskan, merupakan saat orang disiksa karena penyiksanya secara salah menduga korban sedang berbohong. Menurut O'Mara, teknologi baru bagi mendeteksi kebohongan tak bermanfaat juga.
Dalam buku "Why Torture Doesn't Work", profesor O'Mara membangun kasusnya seperti seorang jaksa penuntut, mengutip penelitian-penelitian ilmiah dan secara cermat menandai kekurangan dan keanehan dalam dokumen sejenis "Torture Memos".
Walaupun ilmu pengetahuan mungkin tak dipedulikan oleh para pelaku penyiksaan, O'Mara mengetahui bahwa motivasinya seringkali bagi menghukum, bukan motivasi praktis.
Ketika penyiksaan diterapkan, ia menyampaikan bahwa akibat-akibatnya adalah bahwa penyiksaan itu "tidak efektif, busuk secara moral, dan hasilnya tak mampu diprediksi."
Source : liputan6.com
Terimakasih sudah membaca: Donald Trump Berniat Hidupkan Waterboarding, Efektif atau Sesat?

Berkomentarlah yang baik sopan dan relevan,jangan menyimpang dari topik !!!